Abstrak
Penelitian ini berjudul Hak Politik Perempuan Perspektif Islam dalam kajian
Tafsir Mawdû`î, Sementara ini, pandangan yang berkembang dalam
masyarakat, masih terjadi dua kutub yang berseberangan. Satu pandangan menyatakan perempuan harus di
dalam rumah, mengabdi kepada suami, dan hanya mempunyai peran domestik dan
tidak boleh berpolitik. Pandangan lain menyatakan perempuan mempunyai kemerdekaan
untuk berperan, baik di dalam maupun di luar rumah demikian juga dalam bidang
politik. Hal tersebut terjadi karena belum difahaminya konsep tentang hak
politik perempuan secara murni, juga karena dalam memahami teks ayat al-Qur`an
masih bias jender.
Perbedaan pandangan tersebut terkait dengan perbedaan dalam memahami sumber-sumber ajaran Islam terutama ayat al-Qur`an yang berbicara tentang politik.
Penelitian ini bertujuan untuk
mengungkapkan dan memberi kejelasan bagaimana sebenarnya hak politik perempuan
dalam Islam dengan kajian Tafsir Mawdû`î, diharapkan masyarakat akan
memahami dan tidak menganggap tabu terhadap perempuan yang terjun di dunia
politik.
Langkah-langkah yang ditempuh dalam
penelitian ini, sesuai dengan metode mawdû`î yang banyak digunakan
penulis, diawali dengan melakukan identifikasi dan klasifikasi ayat-ayat
tentang politik dalam al-Qur`an, kemudian dilakukan analisis mendalam terhadap
ayat yang berhubungan dengan politik tersebut dengan disempurnakan dengan
hadis-hadis yang berhubungan dengan hak politik
perempuan.
Dari hasil penelitian tersebut, ditemukan bahwa perempuan mempunyai hak
dalam berpolitik menurut Islam. Laki-laki dan perempuan berkewajiban untuk amar
makrûf nahî munkar melalui beberapa cara termasuk diantaranya dengan media
politik
Islam tidak membedakan laki-laki dan perempuan dalam hak-hak individu dan
hak-hak kemasyarakatan utamanya hak politik. Namun demikian, yang perlu dicatat
adalah bahwa semua hak tersebut harus diletakkan dalam batas-batas kodrati sebagai
perempuan.
Masalah perempuan tampaknya akan
menjadi persoalan yang memerlukan penanganan dalam upaya pencarian solusi bagi
keberadaannya. Dalam arti bukan hendak mengubah keberadaan perempuan, melainkan
membangun kembali, khususnya berkenaan dengan isu kodrati yang mengakibatkan
perempuan semakin terpuruk pada kondisi yang memprihatinkan.
Tidak mustahil apabila ada
sebagian kalangan yang menganggap keterlibatan perempuan dalam aktivitas politik tidak mencerminkan sosok
perempuan ideal dalam Islam. Hal itu karena kuatnya asumsi masyarakat tentang
pembagian peran perempuan bekerja di rumah dan laki-laki di luar rumah.
Demikian pula, wacana pemimpin perempuan telah memancing
polemik dan debat antara pro maupun yang kontra. Hal ini terjadi karena satu
sisi ditemukan penafsiran ayat dan hadis yang secara tekstual mengutamakan
laki-laki untuk menjadi pemimpin, meskipun sebagian ada yang membolehkannya, di
sisi lain ada kenyataan obyektif adanya sejumlah perempuan yang memiliki
pengaruh kuat di masyarakat dan mempunyai kemampuan untuk menjadi pemimpin.
Mengenai perempuan berpolitik terdapat dua pendapat ada yang melarang dan
ada yang membolehkan.
a. Perempuan berpolitik dilarang.
Pendapat yang melarang perempuan berpolitik mengajukan argumentasi sebagai
berikut:
1.Pernyataan
al-Qur’an tentang laki-laki menjadi pemimpin atas perempuan, karena Allah telah melebihkan sebagian laki-laki
atas sebagian perempuan (QS. Al-Nisa’/4:34). Laki-laki mempunyai derajat
lebih tinggi dari perempuan (QS. Al-Baqarah/2:288). Dan persaksian dua
orang perempuan sebagai ganti satu orang laki-laki (QS. Al-Baqarah/2:282).
2. Hadis Nabi menyebutkan ”Tidak akan bahagia suatu kaum
yang menyerahkan suatu urusan kepada perempuan”. (HR. Bukhari). Dan hadis yang
menyebutkan orang perempuan kurang akalnya dan kurang agamanya. (HR. Muslim).
3 .Sebagian kitab tafsir telah menjelaskan laki-laki
memimpin perempuan, dialah pemimpinnya, pembesarnya, hakimnya, dan pendidiknya,
apabila menyimpang, karena laki-laki lebih utama dari perempuan, laki-laki
lebih baik dari perempuan. (Tafsir Ibnu Kasîr 1:1:608). Keutamaan
laki-laki atas perempuan bermula dari sebab fitrah (asal mula) dan
berpuncak pada sebab kasbiah (usaha), Keutamaan (Fadal) laki-laki
atas perempuan dalam empat hal: kecerdasan akal (kamâl al-‘Aql),
kemampuan manajerial (khusn al-tadbîr), keberanian berpendapat (wazanah
al-ra’yi) dan kelebihan kekuatan fisik (mawazidu al-quwah). Oleh
karena kenabian (nubuwwah), kepemimpinan (imâmah), kekuasaan (wilayah),
persaksian (syahadah) dan jihad dikhususkan laki-laki (Sofwatul Tafâsîr 1:274).
4. Kitab fiqh menurut Wahbah al-Zuhaili, syarat kepala
negara adalah laki-laki, demikian juga Abul al-A’la al-Maududi mengharamkan
perempuan duduk dalam seluruh jabatan penting pemerintahan. Lebih-lebih jabatan
kepala negara.
b. Bolehnya
Perempuan berpolitik
Sedanmgkan pendapat yang membolehkan perempuan
berpolitik, argumentasinya sebagai berikut :
1. Pernyataan
al-Qur’an tentang orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian
mereka adalah penolong atau ahlinya sebagian yang lain, mereka menyuruh
mengerjakan yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar (Al-Qur’an surat Al-Tawbah/9:71).
Sesungguhnya aku menjumpai seorang perempuan yang memerintah mereka dan dia
dianugrahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar (al-Qur’an
surat al-Naml/27:23), seorang perempuan adalah Ratu Balqis yang
memerintah di negeri Saba’.
2.Hadis “Tidak akan bahagia suatu kaum yang menyerahkan
urusan kepada perempuan” perlu diteliti sanadnya, dan hadis tersebut termasuk
hadis ahad. Kalaupun dianggap sahih hendaknya ditempatkan pada
konteks pengucapan Nabi yang berkaitan dengan tidak mampunya Buron binti
Syiwaraih memimpin kerajaan Persia.
Lepas dari perbedaan dua pendapat tersebut, di atas, patut dipertanyakan
lagi tentang pendapat yang tidak membolehkan perempuan berpolitik, sebab
terkesan menganggap perempuan tidak mempunyai kemampuan dalam berpolitik dan
menjadi pemimpin atau memegang jabatan, padahal kalau diteliti secara cermat
dan seksama dasar dan argumennya kurang akurat.
Pada kesempatan yang berbahagia ini, penulis akan memaparkan beberapa hal,
sehingga dapat dipahami secara tepat.
Pertama
tentang surah al-Nisa’ ayat
34 :
الرجال قوامون على النساء بما فضل الله
بعضهم على بعض و بما أنفقوا من أموالهم…
Artinya: “Kaum
laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena itu Allah telah
melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (Perempuan),
karena mereka laki-laki telah menafkahkan dari sebagian harta mereka…”
Kata الرجال itu umum, النساء juga kalimat umum, sesuatu yang
khusus adalah Allah memberikan keutamaan kepada sebagian mereka.Keutamaan atau tafdil
disini yang dimaksud adalah laki-laki kerja dan berusaha di atas bumi untuk
mencari penghidupan. Selanjutnya digunakan untuk mencukupi kehidupan perempuan
yang di bawah naungannya.( Al-Sya`râwî, Tafsir al-Sya`râwî, 4: 2202).
Dari pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa Qawwâmûn
berarti laki-laki sebagai penjaga,
penanggung jawab, pemimpin, pendidik kaum perempuan. Padahal penafsiran yang
bercorak demikian pada dasarnya berhubungan dengan situasi sosio-kultural waktu
tafsir dibuat yang sangat merendahkan
kedudukan kaum perempuan.
Berbeda dengan mufassir
terdahulu, sejumlah pemikir kontemporer berusaha menafsirkan, antara lain:
Menurut Fazlur Rahman, laki-laki adalah
bertanggung jawab atas perempuan karena Allah telah melebihkan sebagian
mereka atas sebagian yang lain karena mereka (laki-laki) memberi nafkah dari
sebagian hartanya, bukanlah hakiki melainkan fungsional, artinya jika seorang
isteri di bidang ekonomi dapat berdiri sendiri dan memberikan sumbangan bagi kepentingan rumah tangganya, maka
keunggulan suaminya akan berkurang. (Fazlur Rahman, Mayor Themes of the Quran, terj. Anas
Mahyuddin: 72)
Sedangkan
pendapat Aminah Wadud Muhsin, yang sejalan dengan Fazlur Rahman, menyatakan
bahwa superioritas itu melekat pada setiap laki-laki qawâmûn atas
perempuan, tidak dimaksudkan superior itu secara otomatis melekat pada setiap
laki-laki, sebab hal itu hanya terjadi secara fungsional yaitu selama yang
bersangkutan memenuhi kriteria Al-Qur’an yaitu memiliki kelebihan dan
memberikan nafkah. Ayat tersebut tidak menyebut semua laki-laki otomatis
lebih utama daripada perempuan. (Aminah Wadud Muhsin, Quran
and Woman: 73).
Demikian juga
Ashgar Ali Engineer berpendapat bahwa qawwâmûn disebutkan sebagai pengakuan bahwa, dalam
realitas sejarah kaum perempuan pada masa itu sangat rendah dan pekerjaan
domestik dianggap sebagai kewajiban, sementara laki-laki menganggap dirinya
unggul, karena kekuasaan dan kemampuan mencari dan memberikannya kepada
perempuan. Qawwâmûn merupakan pernyataan kontektual bukan normatif,
seandainya al-Qur`an menghendaki laki-laki sebagai qawwâmûn, redaksinya
akan menggunakan pernyataan normatif, dan pasti mengikat semua perempuan dan
semua keadaan, tetapi al-Qur`an tidak menghendaki seperti itu. (Ashgar Ali
Engineer, Hak-hak perempuan dalam Islam, terj. Farid Wajdi:.179).
Demikianlah
diantara berbagai penafsir yang tekstual dan penafsir kontemporer terhadap
surat al-Nisa/4:34. Sehingga kalau dihadapkan dengan realitas yang ada,
maka yang terlihat sekarang posisi kaum
laki-laki atas perempuan bersifat relatif tergantung pada kualitas
masing-masing individu.
Kekhususan-kekhususan yang diberikan kepada
laki-laki tersebut dalam kapasitasnya sebagai anggota masyarakat yang memiliki
peran publik dan sosial lebih, ketika ayat-ayat tersebut diturunkan.
Dalam
surat lain disebutkan, yaitu surat
Al-Baqarah/2: 228 :
…
وللرجال عليهن درجة…
“…Dan
bagi laki-laki (suami) mempunyai satu kelebihan derajat dari perempuan
(isterinya)…”
Derajat laki-laki lebih tinggi daripada perempuan. Ayat
ini berhubungan dengan masalah talak,
karena laki-laki berhak menentukan talak, meskipun perempuan juga mempunyai
hak, bukan masalah politik dan kepemimpinan.
Disamping itu kata الرجال
pada ayat tersebut
menurut Nasaruddin Umar ialah “Laki-laki tertentu yang mempunyai kapasitas
tertentu, karena tidak semua laki-laki mempunyai tingkatan lebih tinggi
daripada perempuan. Tuhan tidak mengatakan وللذكر
بالمعروف عليهن درجة,
karena jika demikian, maka secara alami semua laki-laki mempunyai tingkatan
lebih tinggi daripada perempuan.” (Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan
Jender Perspektif Al-Qur`ân: 149-150).
Sementara menurut Ibn `Usfûr, para ulama membolehkan kata
ال dalam الرجال
menjadi نعت atau بيانkalau ال
menjadi بيان
berarti لتعريف الحضور
menunjukkan yang datang, bukan jenis, kalau ال
menjadi نعت berarti
للعهد
menunjukkan pembatasan. (Jamal al-Dîn bin Hisyâm al-Ansârî, Mugnî
al-Labîb,: 49). Dari sini menjadi
jelas bahwa, laki-laki dalam surat al-Baqarah
ayat 228 berarti tidak semua
laki-laki, tetapi laki-laki tertentu yang mempunyai kapasitas tertentu.
Sedangkan menurut
Al-Râgib al-Asfihâniy, الرجل menunjukkan arti khusus laki-laki. Namun
dapat juga perempuan disebut رجلة
apabila dalam sebagian ahwalnya
menyerupai laki-laki. (Al-Râgib al-Asfihâniy, Mu`jam Mufradât
Alfâz al-Qur`ân: 194).
Jadi, ayat 34 dari surat al-Nisa` bersifat fungsional, artinya laki-laki
bertanggungjawab pada keluarga karena memberi nafaqah, artinya laki-laki yang
berfungsi memberi nafaqah. Bagaimana halnya dewasa ini yang kerja dan memberi nafaqah adalah isteri atau perempuan,
tentu lain lagi masalahnya, artinya perempuan yang ahwalnya menyerupai laki-laki, yang berfungsi menjadi laki-laki dan
memberi nafaqah, berarti perempuan yang bertanggungjawab pada keluarga, karena
kecenderungan di Indonesia dalam kurun waktu 30 tahun terakhir, bahkan menunjukkan fenomena yang sangat mengejutkan. Berdasarkan hasil
pemetaan ulang yang dilakukan Kementerian Pemberdayaan Perempuan bahwa, 60 %
perempuan Indonesia
harus menghidupi diri sendiri dan keluarganya. Melihat kenyataan
ini, Sinta Nuriah Abdurahman Wahid berkeyakinan bahwa, de fakto
sesungguhnya kaum perempuanlah yang menjadi kepala rumah tangga atau
keluarga.(Harian Kompas, Selasa, 4 Juli 2000,
h. 10, kol.5-9)
Sedangkan
masalah saksi, kesaksian dilaksanakan oleh dua orang laki-laki atau satu
laki-laki dan dua orang perempuan, dalam hal kontrak keuangan, tersebut dalam
al-Qur’an:
…وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ
يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ
وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ
مِنْ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ
إِحْدَاهُمَا الأُخْرَى…
“…Dan persaksikanlah
dengan dua orang saksi dari orang laki-laki di antara kalian. Jika tidak ada
dua orang laki-laki, maka (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan
dari saksi-saksi yang kalian ridai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi
mengingatkannya…. (Al-Baqarah/2:282)
Kalimat “syahadah”
diambil dari مشهَد yaitu obyek yang terlihat jelas dengan kasat
mata, adapun مشهد atau obyek tidak membutuhkan kepandaian dan kecerdasan
individu, tetapi lebih sangat memerlukan kesaksian mata telanjang dan lebih
ditekankan kepada kejujuran. Berkaitan
dengan hal tersebut, derajat hamba Allah yang mendapat gelar akademis seperti
M.A. atau Dr. dengan hamba-Nya yang tidak mampu membaca dan menulis adalah
sama, sehingga dapat disimpulkan bahwa strata pendidikan seseorang tidak ada
kaitannya dengan perihal persaksian. Akhirnya kejujuran sangat urgen dalam
kesaksian dan bukan kecerdasan akal.(Al-Sya`râwî, Tafsîr al-Sya`râwî:
1215)
Pendapat al-Sya`râwî tersebut karena, ia melihat
perempuan tidak banyak yang ke luar menyaksikan sesuatu yang berhubungan
dengan keuangan, tetapi perempuan saat ini lebih banyak yang bergelut dengan
masalah kerja dan keuangan. Kalau hal ini diketahui oleh al-Sya`râwî sudah
barang tentu ia akan berpendapat lain.
Harus
dicatat bahwa, ungkapan itu hanyalah bersifat anjuran, bukan perintah wajib,
terbukti bagian akhir ayat ini menjelaskan “Janganlah kamu jemu menulis hutang
itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu,
lebih adil di sisi Allah, lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat
kepada tidak (menimbulkan) keraguan, (Tulislah muamalahmu itu), kecuali jika
muamalah itu perdagangan tunai yang
kalian jalankan di antara kalian, maka tidak ada dosa bagi kalian, (jika)
kalian tidak menulisnya”.
Sesuatu
yang perlu diperhatikan yaitu, ayat itu
menunjukkan satu saksi laki-laki digantikan dua saksi perempuan, hanya salah
seorang di antara keduanya yang menjadi saksi, sedangkan satunya hanya
berfungsi untuk mengingatkan, apabila ia ragu, karena pada masa turunnya ayat
itu selalu ada kemungkinan saksi perempuan melakukan kesalahan dalam masalah
keuangan, bukan karena rendahnya kecerdasan, tetapi disebabkan kurang
pengalaman dalam masalah keuangan.
Pendapat Aminah Wadud bahwa, menurut susunan kata ayat ini,
kedua perempuan itu tidak disebut keduanya menjadi saksi, karena satu perempuan
ditunjuk untuk ‘mengingatkan’ satunya lagi, dia bertindak sebagai teman
kerjasama (kolaborator), meskipuan perempuan itu dua, tetapi
masing-masing berbeda fungsinya, dan spesifik untuk perjanjian finansial, tidak
dimaksudkan untuk diberlakukan secara umum, atau tidak berlaku pada persoalan
lain. (Amina Wadud Muhsin, Qur`an and Woman: 85)
Jadi ayat
tersebut harus dipandang secara kontekstual, bukan normatif, karena ada 7
(tujuh) ayat lain dalam al-Qur`an, yang
menyebutkan tentang kesaksian, tetapi tidak satupun yang menyebutkan saksi satu
orang laki-laki digantikan dua orang perempuan. Yaitu: Al-Mâidah/5:106, Al-Mâidah/5:107,
Al-Nisâ`/4:15, Al-Nûr/24:4, Al-Nûr/24:6, Al-Nûr/24:8, Al-Talâq/65: 2.
Berdasar ketentuan tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa,
saksi perempuan diakui sama dengan saksi laki-laki, tidak ada perbedaan
diantaranya, khusus masalah keuangan, kalau perempuan menyaksikannya, maka ia
berhak menyaksikan sendiri, kalaupun ada perempuan lain fungsinya hanya sebagai
pengingat atau penguat.
Sejalan dengan ayat tersebut ada hadis yang
seolah-olah menunjukkan laki-laki memiliki kelebihan dibanding perempuan.
عن عبد الله بن عمر عن رسول
الله صلىالله عليه وسلم قال...ومارايت من ناقصات عقل ودين اغلب لذى لب منكن قا لت
يارسول الله ومانقصان
العقل والدين قال اما نقصان
العقل فشهادة امراتين تعدل شهادة رجل فهذا
نقصان العقل وتمكث
الليالى ما تصلى وتفطر فى رمضان
فهذا نقصان الدين. رواه مسلم
“…Aku tidak melihat yang kekurangan akal dan agama dari
pemilik pemahaman lebih daripada
golongan kalian, perempuan itu bertanya lagi: “Wahai Rasulullah! Apakah maksud
kekurangan akal dan agama itu?”, Rasulullah saw bersabda: “Maksud kekurangan
akal ialah penyaksian dua orang perempuan sama dengan penyaksian seorang laki-laki. Inilah yang dikatakan
kekurangan akal. Begitu juga perempuan tidak mengerjakan sholat pada malam-malam
yang dilaluinya, kemudian berbuka pada bulan Ramadan karena haid. Maka itulah
yang dikatakan kekurangan agama”.(H.R.Muslim)
(Muslim, Sahih Muslim, 2:.65. .Lihat juga Bukhari dalam kitab Sahihnya (1462) dari Abu Sa’id
al-Khudri).
Maksud kekurangan akal, kalau dihubungkan dengan kualitas
persaksian, sementara persaksian itu berhubungan dengan faktor budaya, maka
dapat saja dipahami sebagai keterbatasan penggunaan fungsi akal bagi perempuan,
karena pembatasan budaya di dalam masyarakat.
Namun sangat disayangkan asumsi memposisikan perempuan pada titik marjinal, perempuan kurang akalnya ini tidak terbukti
kebenarannya, karena kandungan hadis menjelaskan karakter perempuan berdasarkan
struktur fisik dan psikis menurut kodratnya sangat intens dengan perasaan.
Hal ini bukan
merupakan kekurangan, namun
sebaliknya menjadi pembeda dengan laki-laki, dan merupakan keistimewaan
tersendiri bagi perempuan yang sangat sesuai dengan tugas keperempuanan, karena
fitrah perempuan memang senantiasa menggunakan perasaan lebih banyak dan berpikir
dengan proporsi yang lebih sedikit.
Kendati demikian,
perasaan perempuan tidak bermakna ia tidak mampu bergerak dan berpikir cepat
layaknya laki-laki. Salah satu buktinya adalah
perjanjian Hudaibiyah menjadi saksi
atas kecerdasan dan ketangkasan perempuan, orang-orang muslim di saat
itu menunaikan ihram dan
berduyun-duyun menuju Baitullah al-Haram untuk
melaksanakan umrah, tidak lupa mereka membawa hewan korban untuk disembelih
selepas umrah dan tawaf di sekitar Ka`bah, namun orang-orang menghadang dan
menahan langkah mereka, akhirnya pertempuran dingin ini diselesaikan dengan
sebuah perjanjian yang terkenal dengan perjanjian Hudaibiyah.
Perjanjian ini ditandatangani oleh Rasulullah dan kaum kafir Mekkah. Berisi
orang kafir Mekkah tidak akan mengganggu dan menghalangi langkah orang muslim
dan penyebaran dakwah Islam, orang-orang muslim juga tidak akan menghalangi dan
menyakiti kaum kafir Quraisy dan kerabatnya serta kaum yang berada di
perlindungannya.
Adapun
perempuan yang menduduki posisi strategis dan berperan besar dalam perjanjian Hudaibiyah di antaranya, Ummu
Salamah. Ketika perjanjian Hudaibiyah ditandatangani dan disahkan, Nabi
mengintruksikan untuk menyembelih hewan dan bertahallul, namun isi perjanjian
sempat membuat mereka marah, karena menghalangi langkah penyempurnaan tawaf.
Mereka tidak memahami hikmah yang tersirat dari perjanjian ini, yaitu
sinyal-sinyal kemenangan Islam dan ekspansi wilayah Islam sampai tanah Mekkah.
Andaikata mereka
lebih memilih untuk menyelesaikan permasalahan ini dengan peperangan, maka
peperangan ini dapat dikatakan tragis, dalam arti pertempuran akan terjadi
antara kaum muslim dan kaum muslim lainnya yang berdomisili di Mekkah, karena
tidak sedikit dari warga Mekkah yang menganut agama Islam secara sembunyi-sembunyi.
Pada perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah
memerintahkan umatnya untuk menyembelih hewan dan bertahallul, namun seorang
dari umatnya tidak melaksanakan instruksi Rasul, akhirnya Rasul menemui Umu
Salamah binti Abi Umaiyyah dengan kemarahan memuncak.
Umu Salamah berkata:“Apa yang terjadi padamu
wahai Rasulullah?” Nabi diam seribu bahasa. Umu Salamah tidak berhenti pada
titik ini, dia justeru menanyakan perihal apakah yang membuatnya tidak mau
bercerita kepadanya, kemudian Nabi berkata:“Orang-orang muslim telah punah,
mereka tidak mengindahkan perintahku, aku memerintahkannya untuk menyembelih
hewan dan memotong rambutnya, namun tidak melaksanakannya”. Umu Salamah
berkata: “Wahai Rasulullah! Janganlah engkau mencelanya, karena mereka sedang
mengalami kejadian yang dilematis akibat isi perjanjian yang menahan perolehan
kemenangan yang sebenaranya dapat dicapai, wahai Nabi utusan Allah, keluarlah
dan jangan mengeluarkan sepatah katapun, sembelihlah hewanmu dan
bertahalullah!”. Akhirnya Nabi menjalankan nasehat isterinya Umu Salamah,
kemudian orang-orang menyembelih hewan korbannya dan bertahallul seperti Nabi.
(Diriwayatkan Ahmad dalam musnadnya, jilid 4: 336)
Demikianlah Nabi mengaplikasikan nasehat isterinya Umu
Salamah guna menyelesaikan permasalahan yang rumit. Jika pendapat perempuan
diklaim sangat tidak proporsional dan akal perempuan tidak sebanding dengan
akal laki-laki, secara implisit Nabi dalam hal ini tidak melaksanakan nasehat
Umu Salamah.
Keputusan yang
diambil oleh laki-laki dan perempuan sangat jauh berbeda. Hal ini terlihat
jelas pada sikap kesehariannya, dapat dibandingkan solusi yang dipakai oleh
kedua pihak dalam tataran praktis. laki-laki dalam kesehariannya selalu
membudayakan penggunaan akal, karena tugas yang diemban olehnya bekerja mencari
penghasilan yang menuntut keterampilan akal tanpa campur tangan perasaan. jika
seorang ayah tidak mempunyai uang sepeserpun, sedangkan anaknya meminta uang
kepadanya, jelas dia tidak akan memenuhi permintaannya, keputusan tegas diambil
berdasarkan akal. Realita akan berkata lain jika anak meminta uang kepada
ibunya, dapat dipastikan ibu mencari
pinjaman guna memenuhi kebutuhan anaknya walaupun dengan perasaan malu dan
penuh deraian air mata.
Jadi nuqsân
al-aql yang disebutkan dalam hadis adalah frekuensi penggunaan akal pada
perempuan sangat rendah, dalam arti perempuan dalam skala mayoritas sering
menggunakan perasaan dalam setiap tindak-tanduknya.
Kalaupun hadis di atas difahami secara tektual, tetapi
ada hadis qudsi yang seolah-olah berlawanan dengan hadis di atas, yaitu:
عن
ابى موسى رضي الله عنه قال اتىالنبي صلىالله عليه وسلم اعرابيا قاكرمه فقال له:
ائتنا فاتاه فقال له رسول الله صلىالله عليه وسلم سل حاجتك قال ناقة تركبها واعنز
يحلبهااهلىفقال اعجزتم ان تكونوا مثل عجوز بنى اسرائيل؟ قلوا يارسول الله وما عجوز
بنى اسرائيل؟ قال ان موسى عليه السلام لما سارببنى اسرائبل من مصرضالوا الطريق
فقال ما هذا؟فقال علماؤهم يوسف عليه السلام لماحضره الموت اخذ بنيامين علينا موثقا
من الله ان لاتخرج من مصرحتى تنقل عظامه معنا قال: من يعرف موضع قبره؟ قال: عجوز
من بنى اسرائيل فبعث اليها فأتت فقال دليني على قبر يوسف فقالت حتى تعطيني حكمي
قال وماحكمك؟ قالت اكون معك فى الجنة فكره ان يعطيها ذلك فاوحىالله اليه ان اعطها
حكمها فانطلقت بهم الىبحيرة مستنقع ماء فقالت انضبوا هذا الماء فأنضبوه انضبوا هذا الماء
فأنضبوه فقالت احتفروا
فاحتفروا فاستخرجوا عظام يوسف فلما
أقلوه الى الارض فاذا الطريق
مثل ضوء النهار.
“Dari Abu Musa, ia
berkata, Nabi SAW mendatangi orang Arab gunung. Beliau memuliakannya. Lalu
beliau berkata:”Datanglah kepadaku” Maka ia mendatangi beliau. Kemudian Rasul
berkata kepadanya:”Mintalah kebutuhanmu”. Ia mengatakan:”Onta yang engkau
naiki, aku bermaksud agar keluargaku memerahnya”. Maka Rasul menjawab:”Apakah
kalian sudah lemah (tidak mampu) hingga kalian seperti perempuan bani Israil.
”Para sahabat bertanya:”Wahai Rasul, siapa perempuan bani Israil itu? Rasul
menjawab:”Sesungguhnya Musa AS ketika membawa pergi bani Israil dari Mesir,
mereka tersesat jalan.
Maka Musa
berkata:”Siapa ini?” Ulama mereka menjawab:”Yusuf AS”. Ketika ajal Yusuf tiba.
Benyamin menanggung perjanjian dengan Allah supaya kami tidak keluar dari
Mesir, sehingga kami membawa memindahkan (membawa) tulang-tulang Yusuf bersama
kami. Musa berkata:”Siapa yang mengetahui kuburan Yusuf?” Benyamin
menjawab:”Perempuan tua dari Bani Isrâîl”. Maka Musa memerintahkan (utusan)
pergi kepadanya (perempuan itu). Maka berkatalah Musa:”Tunjukkanlah aku kuburan
Yusuf!” Perempuan itu berkata:”Supaya aku bersama kamu di surga”. Maka Musa
menolak untuk memberi yang demikian kepada perempuan. Lalu Allah mewahyukan
kepada Musa supaya Musa memberi (memenuhi) permintaan perempuan itu. Maka
perempuan itu pergi bersama mereka ke danau, tempat menggenangnya air.
Perempuan itu berkata:”Kuraslah air ini!” Kemudian mereka menguras. Perempuan
itu berkata lagi:”Hendaklah kalian menggali lubang” Lalu mereka menggali
lubang. Perempuan itu berkata:”Hendaklah kalian mengeluarkan tulang-tulang
Yusuf”. Ketika mereka mengangkatnya ke atas bumi(tanah). Tiba-tiba ada jalan
seperti cahaya siang” ( Al-Imâm Abî al-Hasan Nuruddîn `Ali bin Sultan Muhammad
al-Qoriy, Al-Ahâdîs al-Qudsiyyah al-Sahihah, terj. M.Thalib: 149-151.).
Hadis ini sebagai salah satu bukti bahwa perempuan mampu mengingat sesuatu
dalam waktu yang lama, dan ingatan itupun berhubungan dengan kecerdasan akal.
Dengan demikian, perempuan mampu menjadi saksi yang baik. mampu bertindak dan
diajak bicara memecahkan masalah, tidaklah benar kalau perempuan itu kurang
akal dan agama.
Perempuan berhak
menduduki jabatan politik, dengan syarat mentaati hukum syariat Islam, karena
tidak ada teks yang secara tegas (sarih) melarangnya. Sedangkan ayat yang dipakai dasar surat Al-Tawbah/9:71:
وَالْمُؤْمِنُونَ
وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ
وَيَنْهَوْنَ عَنْ الْمُنكَر وَيُقِيمُونَ
الصَّلاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ
وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
أُوْلَئِكَ سَيَرْحَمُهُمْ اللَّهُ
إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan
perempuan sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain, mereka
menyuruh menjalankan kebajikan dan melarang dari kejahatan, mendirikan salat
menunaikan zakat, mereka taat patuh kepada Allah dan Rasulnya. Mereka itu akan
diberi rahmat oleh Allah, karena sesungguhnya Allah itu Maha Kuasa lagi Maha
bijaksana”.
Dalam
tafsir Al-Sya`râwî, kata auliya diartikan bahwa: “Dalam masyarakat mukmin harus saling tolong
menolong dan saling memberi nasihat, agar sempurna imannya.” (Al-Sya`râwî, Tafsir al-Sya`râwî,:
5287). Jadi mencakup kerjasama, bantuan, dan penguasaan.
Sedangkan
"Menyuruh mengerjakan yang makrûf dan mencegah yang munkar"
maksudnya, Ketika mukmin mengerjakan perkara munkar, maka mukmin yang
lain mencegahnya, dan ketika mukmin tidak mengerjakan kebaikan, maka mukmin
yang lain mengingatkannya. Akhirnya, setiap mukmin memerintah dan diperintah
untuk mengerjakan kebaikan dan melarang mengerjakan kemunkaran. Jadi artinya
sesama mukmin baik laki-laki maupun perempuan harus saling mengingatkan, ada
kemungkinan posisinya menjadi pemerintah atau yang diperintah.
Demikian juga
pendapat Sayid Qutub dalam tafsirnya maksud dari amar makruf dan nahi munkar artinya “Menciptakan
kebaikan dan menolak kejelekan diperlukan pemerintahan atau kekuasaan dan
dengan tolong menolong, hal ini dilakukan oleh laki-laki dan perempuan”.(Sayid
Qutub, Fi Zilal al-Qur`ân: 1675).
Dengan ayat itu
menunjukkan bahwa, Laki-laki dan perempuan mempunyai hak politik, hak
kepemimpinan publik, terbukti keduanya berhak menyuruh mengerjakan yang makrûf
dan mencegah yang munkar, mencakup segala segi kebaikan, termasuk
memberi masukan dan kritik terhadap penguasa.
Hak perempuan di
bidang politik, merupakan hak syar`î, jika dalam beberapa masa lalu
perempuan tidak menggunakan hak ini, bukan berarti perempuan tidak boleh dan
tidak mampu, tetapi karena tidak ada kebutuhan yang mendesak untuk memperaktekkannya,
atau laki-laki dalam hal ini mengunggulinya, ini bukan berarti hak politik
perempuan tidak diakui, justru menjadi suatu hak yang dituntut dan dianggap
sangat urgen, terutama di saat sekarang ini. Apalagi, dalam konteks pemberdayaan peran politik perempuan
di Indonesia, hak tersebut secara legal-formal telah terjamin eksistensinya.
Hal itu terlihat jelas pada pasal 65 ayat 1, UU no. 12 tahun 2003 tentang
Pemilu, yang menyatakan bahwa:
“Setiap partai
politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPRRI, DPRD Provinsi dan
DPRD Kabupaten / Kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan
keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 %”
Sementara di sisi lain ada hadis yang
dijadikan pegangan untuk tidak patut perempuan menjadi pemimpin atau memegang
jabatan adalah:
عن
ابى بكرة قال لقد نفعني الله بكلمة سمعتها من رسول الله صلى الله عليه وسلم آيام الجمل بعد ماكدت آن آلحق باصحاب الجمل فآقاتل معهم
قال لما بلغ رسول الله صلى الله عليه
وسلم ثم آن اهل فارس قد ملكوا عليهم بنت كسرى قال لن
يفلح قوم
ولو امرهم امرأة رواه البخارى
“Dari Abî Bakrah berkata: “Allah
memberikan manfaat kepadaku pada hari-hari perang Jamal, dengan satu kalimat
yang saya dengar dari Rasul SAW setelah aku hampir saja bergabung dengan
pasukan unta untuk bertempur bersama mereka”. Abu Bakrah berkata: “Ketika
sampai pada Rasul SAW satu berita, bahwa penduduk Persia telah menobatkan
puteri Kisra sebagai raja, maka Rasul SAW
berkata: “Tidak akan sejahtera suatu kaum yang menyerahkan urusan
(pemerintahannya) kepada perempuan”. (H.R.Bukhari).)Muhammad bin
Ismâ`îl Abû `Abdillah al-Bukhârî, Sahih Bukhâri,juz 4:1610)
Hadis tersebut
dalam tingkatan ahad tidak mutawatir. Seandainya hadis itu
dianggap mutawatir, tetapi sabab al-wurûdnya berkenaan
dengan sebab khusus yaitu merespon kejadian tertentu yang bersifat terbatas.
Rasulullah SAW mengatakannya berkaitan dengan naiknya Puteri Kisra raja Persia
sebagai pemegang pemerintahan.
Hal itu tidak termasuk perundang-undangan yang
bersifat umum, sebab berasal dari Rasulullah dalam kapasitasnya sebagai kepala
pemerintahan dan pemimpin negara, tidak sebagai rasul.
Kalaupun hadis tersebut dianggap sebagai
perundangan untuk umum, maka maknanya secara bahasa yang tepat adalah
dikuasainya seluruh urusan negara, serta pemerintahan secara menyeluruh oleh
perempuan. Ini suatu hal yang tidak mungkin, baik bagi laki-laki maupun
perempuan.
Hadis tersebut memakai kata امرأة
adalah bentuk nakirah jadi perempuan yang bersifat umum, sehingga perlu
ada taqyid atau batasan, artinya
perempuan yang mempunyai kemampuan memimpin tidak menjadi masalah kalau dia
menjadi pimpinan atau memegang jabatan.
Kalau di lihat dari perawinya yaitu Abû
Bakrah, ia menggali hadis tersebut setelah kalahnya `Aisyah di perang Jamal,
yang telah terpendam 25 tahun dari ingatannya dalam situasi dan konteks yang
berbeda.(Fatima Mernisi, Wanita di dalam Islam, terj. Yaziar
Radianti:62).
Hadis itu tidak ada sebelum perang jamal,
dimana `Aisyah isteri Nabi menjadi pimpinan pasukan yang di dalamnya banyak
sahabat mengikutinya, tidak seorangpun sahabat keberatan atas kepemimpinannya.
Bahkan Abû Bakrahpun ada, dan tidak membelot darinya. Seandainya dia yakin
bahwa Nabi melarang perempuan menjadi pemimpin, tentulah ia segera keluar dari
barisan `Aisyah, setelah ia teringat hadis di atas. Hal ini menunjukkan bahwa,
kepemimpinan perempuan dalam hal ini adalah `Aisyah diterima oleh para sahabat
terkemuka.
Bukti bahwa perempuan mempunyai
kekuatan dan kemampuan untuk memikul masalah besar adalah terdapat dalam
al-Qur`an tentang Hajar, ibu Nabi Ismâ`îl AS, tentang ibu Nabi Musa AS., dan
tentang Maryam, ibu Nabi Isa AS. Dari bukti tersebut menunjukkan bahwa
perempuan dapat mengatasi masalah, kendatipun dalam scop yang luas,
seperti persoalan dalam suatu negara
Demikianlah pembahasan secara kritis tentang hak
perempuan dalam politik menurut Islam. Dari pembahasan tersebut dapat
disimpulkan bahwa tidak ditemukan ayat atau hadis yang melarang kaum perempuan
untuk aktif dalam dunia politik, demikian juga menjadi pemimpin. Sebaliknya
Al-Qur’an dan hadis banyak mengisyaratkan tentang kebolehan perempuan aktif
menekuni dunia tersebut. Jadi Islam memberikan peran terhadap perempuan untuk
berpolitik.
0 komentar:
Posting Komentar