Penyempurnaan Ortografi Al Qur’an

A. Karakteristik Ortografi Utsmani
Karakteristik ortografi mushaf utsmani sebagai berikut:
Ø Penulisan ت sebagai pengganti ة
Ø Huruf waw (و ) dan ya’(ى) sering di hilangkan, ketika vokal diringkas karena suatu penggabungan kata. Sedangkan huruf alif ( ا ) sebagai huruf vokal, dalam kasus senada, hanya di temukan dalam kata ايها yakni menjadi ايه
Ø Nunasi (tanwin) ditulis dengan ن dala kata كاين yakni كأين atau كائن , yang membuat derivasi kata tersebut dari menjadi kabur.
Ø Partikel ya selalu di tautkan pada kasus vokatif, dan lebih menyatu dalam ungkapan يبنؤم ( secara terpisah يا ابن أم )
Ø Ragam tulis aksara tidak mengenal perbedaan antara konsonan b(ب ), t(ت ), ts(ث), n(ن), dan ya(ي), pada permulaan dan di tengah – tengah suatu kata, atau b(ب ), t(ت ), ts(ث) pada penghujung kata , atau f (ف), dan q(ق) pada peremulaan dan di tengah – tengah kata, serta konsonan – konsonan j (ج), h ( ح ), kh ( خ (,d (د), dz (ذ), r (ر ), z (ز); s (س), sy (ش), sh ( ص ), dl ( ض), th ( ط ), zh ( ظ ), ‘ ( ع ), g (غ)
 
B. Latar belakang penyempurnaan Rasm Al Qur’an
Langkah penyeragaman teks yang dilakukan oleh khalifah ketiga, Utsman Bin Affan, lewat pengumpulan resm Al Qur’annya, terutama sekali dapat dilihat sebagai tonggak awal upaya standardisasi teks maupun bacaan Al Qur’an. Alasan utama yang berada dibalik kodifikasi tersebut – yakni perbedaan tradisi teks dan bacaan yang mengarah pada perpecahan politik umat islam, demgan gamblang memperlihatkan hal ini. Bentuk scriptio defectiva yang digunakan untuk menyalin Al Qur’an ketika itu masih membuka peluang bagi seseorang untuk membaca teks kitab suci secara beragam.

Keyakinan – keyakinan keagamaan kaum muslimin khususnya kepercayaan terhadap karakter I’jaz dan kesucian Al Qur’an serta terhadap perhitungan dihari kemudian yang menanti orang – orang yang merusaknya, akan merupakan pencegahan utama terhadap setiap upaya untuk merekayasa dan memaparkan bacaan – bacaan Al Qur’an lewat inisiatif perorangan. Karena itu, pelik membayangkan bahwa seorang muslim yang saleh secara pribadi akan berinisiatif untuk menetapkan huruf –huruf hidup dan konsonan untuk membaca Al Qur’annya sendiri, karena hal ini akan mengakhiri totalitas Al Qur’an sebagai mu’jizat. 

Dengan mempertimbangkan ketertariakan kaum muslimin yang sangat kuat terhadap tradisi orang dan ketidak kepercayaan mereka terhdap kata-kata tertulis maka asumsi tentang scriptio plena sebagai “ biang kerok” munculnya berbagai perbadaan bacaan jelas tidak dapat dipertahankan.

Merupakan fakta empiris bahwa tidak satu kitab sucipun selain Al Qur’an yang telah di transmisikan dalam suatu sekala yang sangat luas dan berkesinambungan dari generasi kegenerasi lewat mata rantai perawi yang otoritatif dan sangat qualified menurut penialaian orang – orang yang sezaman dengan mereka. Sama sekali tidak ada alasan bagi generasi – generasi muslim yang belakangan untuk merekayasa bacaan – bacaan Al Qur’an karena mereka memiliki tradisi bacaan Al Qur’an yang kaya, yang di transmisikan dari para sahabat nabi yang menerima langsung dari nabi. 

Hadits – hadits yang teruji kesahihannya mengenai tujuh ragam dialectal Al Qur’an juga merupakan bukti bahwa keragaman bacaan mesti dikembalikan kepada keragaman bacaan – bacaan otentik pada masa Nabi, bukan kepada upaya – upaya belakangan untuk mengisi kekosongan dalam mushaf Utsmani yang tidak bertanda baca.

Merupakan kenyataan bahwa para qurra’ yang berasal dari suatu mazhab gramatik tertentu merasa terpaksa mengikuti bacaan yang diajarkan kepada mereka.

Asumsi tentang scriptio defectiva sebagai penyebab munculnya keragaman bacaan mensyaratkan bahwa sebelum introduksi ragam tulis tersebut – yakni sepanjang periode Nabi, para sahabatnya dan generasi berikutnya – Al Qur’an berada dalam keadaan tidak pasti atau tidak tetap semacam limbo. Bentuk konkret kitab suci itu baru dihasilkan setelah penambahan titik – titik diakritis dan tanda – tanda vokal yang terjadi jauh berabad – abad setelah masa pewahyuannya. 

C. Penyempurnaan Rasm Al Qur’an
Ketika domain politik islam semakin luas dan semakin banyak orang non – Arab memeluk Islam, berbagai kekeliruan dalam pembacaan teks Al Qur’an – yang disalin dengan scriptio defectiva – di kalangan pemeluk baru Islam semakin merebak. Akhirnya penguasa politik Islam mengambil keputusan untuk melakukan penyempurnaan terhadap Rasm Al Qur’an, dan langkah actual penyempurnaannya dikabarkan telah dilakukan oleh sejumlah ahli bahasa. 

Baru pada masa kekholifahan Mu’awiyah ibn Abi Sufyan (661 – 680) langkah tersebut mulai dilakukan. Ziyad ibn Samiyah (w. 673), yang ketika itu menjabat sebagai Gubernur Basrah meminta Abu al – Aswad al Du’ali (605 – 688) agar menciptakan tanda-tanda baca dan membubuhkannya dalam mushaf untuk menghindari dari berbagai kekeliruan pembacaan Al Qur’an yang ketika itu semakin massif. Al Du’ali tidak langsung mengabulkan permintaan Ziyad, karena sebagaimana kisah – kisah yang bertalian dengan introduksi hal-hal baru terhadap Al Qur’an, misalnya pada kisah pengumpulan pertama Al Qur’an oleh Zayd ibn Tsabit – takut berbuat bidah. Namun, suatu ketika Al Du’ali mendengar sendiri orang lain keliru membaca bagian Al Qur’an (9:3) berikut:
انّ الله بريء من المشركين ورسوله
Kekeliruan pembacaan ayat ini terletak pada vokalisasi kata rasuluhu menjadi rasulihi yang mengakibatkan perubahan makna sangat substansial terhadap bagian Al Qur’an diatas. Ketika Al Qur’an itu dibaca benar sebagai rasuluhu maka maknanya adalah : “ sesungguhnya Allah dan Rasulnya berlepas diri dari orang – orang yang musyrik “ tetapi, ketika kata itu di pelintir menjadi rasulihi, maka maknanya akan berubah menjadi : “sesungguhnya Allah berlepas diri dari orang-orang musyrik dan rasulnya. “
Melihat kekeliruan yang sangat fatal ini Al Du’ali lalu menghadap ziyad dan menyanggupi permintannya untuk melakukan penyempurnaan terhadap rasm Al Qur’an. Ia kemudian memprkenalkan tanda –tanda vocal yang penting yakni titik diatas huruf ( . ) untuk vocal a (fatahah), titik di bawah huruf (-.-) unutk vocal I ( kasroh ), titik di sela – sela atau di depan huruf (._ ) unutk vocal u (dhammah ), dua titik untuk vocal rangkap (tanwin ) dan unutk konsonan mati (sukun ) tidak di bubuhkan tanda apapun. Tanda – tanda vocal ini dalam penulisan mushaf di beri warna yang berbeda dari warna huruf – hurufnya. Menurut sebagian riwayat tidak seluruh huruf dalam mushaf di beri tanda vocal. Tanda – tanda ini hanya di cantumkan pada huruf – huruf terakhir tiap kata atau pada huruf – huruf tertentu yang memungkinkan terjadinya kekeliruan bacaan.
Pada masa kekhalifanhan Abbasiyah tanda – tanda vocal yang diciptakan Al Du’ali kemudian disempurnakan oleh Al Khalil Ibn Ahmad (718 – 786). Yang dilakukan Al Khalil adalah membubuhkan huruf alif (ا ) kecil diatas huruf untuk tanda vokal a, huruf ya’ ( ى ) kecil dibawah unutk vokal I, huruf wawu ( و ) kecil didepan huruf untuk tanda vokal u , menggandakan tanda – tanda vokal ini untuk melambangkan vokal rangkap (tanwin ) membubuhkan kepala huruf ha’ ( ) diatas huruf untuk tanda sukun. Sementara untuk tanda konsonan rangkap (syaddah ) di tempatkan kepala huruf sin ( ) di atasnya.

Pada masa pemerintahan Abd al Malik ibn Marwan (658 – 705) dari dinasti ummaiyah, gubernur irak, al Hajjaj ibn Yusuf ( W 714) menugaskan Nashr ibn Ashim ( W 708) dan Yahya ibn Ya’mur (w.747) – keduanya adalah murid Al Du’ali – untuk melanjutkan pekerjaan gurunya menyempurnakan aksara arab, khususnya dalam mengupayakan pembedaan konsonan bersimbol sama di dalam bahasa arab.

        Upaya pemberian titik – titik diakritis untuk membedakan symbol – symbol konsonan yang memiliki perlambangan senada debagai berikut: kerangka konsonan ح supaya bisa di baca Kha’ (kh), diberi satu titik diatasnya ( خ ( atau satu titik di bawahnya ( ج ) untuk melambangkan konsonan jim (j) dan konsonan dasar yang tidak bertitik ( ح ) sebagai konsonan ha’ (h). symbol konsonan di beri a\satu titik di atasnya ( ن) untuk melambangkan konsonan nun (n ), atau dua titik diatasnya ( ت ) untuk huruf mati ta (t), atau tiga titik diatasya ( ث ) untuk konsonan tsa’ (ts), serta titik di bawahnya ( ب ) untuk konsonan ba (b) atau dua titik dibawahnya (ي ) untuk huruf ya (y). symbol konsonan و di beri titik diatasnya ( ف ) untuk melambangkan konsonan fa (f), atau dua titik di atasnya (ق) untuk konsonan qaf (q), sementara konsonan waw (w) tidak diberi titik (و). Demikian pula, dua huruf mati yang berbeda tapi dilambangkan dengan symbol senada, salah satunya di bubuhi titik – titik diakritis untuk membedakannya: dal (d) tanpa titik (د), dzal (dz) diberi titik diatasnya (ذ) ; ra (r) tanpa titik (ر ), za (z) diberi datu titik diatasnya (ز); sin (s) tanpa titik (س), syin (sy) di beri tiga titik diatasnya (ش). Titik diakritisi ini di warnai dengan tinta yang sama uintuk menulis huruf, sehingga bisa dibedakan dari titik yang di introduksi Al Du’ali untuk vokalisasi teks.

Ditulis Oleh : Unknown // Selasa, Maret 29, 2011
Kategori:

0 komentar:

 
Diberdayakan oleh Blogger.